Militer – Undang‑Undang 45 yang Kontroversial: Peran Militer di Pemerintahan Muncul Kembali
Pendahuluan
Militer – Di tahun 2025, dunia politik Indonesia kembali mengalami peristiwa penting yang memicu diskusi luas mengenai arah demokrasi dan tata pemerintahan nasional. Salah satu berita paling mencolok adalah pengesahan undang‑undang yang memperluas peran militer dalam lembaga sipil pemerintahan. Kebijakan ini memicu kekhawatiran dari masyarakat sipil dan pengamat politik bahwa demokrasi dan fungsi kontrol terhadap kekuasaan sedang diuji. Artikel ini akan menguraikan secara mendetail latar belakang perubahan hukum tersebut, dinamika politik dan sosial yang muncul, serta implikasi jangka panjangnya bagi sistem pemerintahan Indonesia.

Latar Belakang dan Isi Kebijakan
Alasan Pemerintah Mengusulkan Perubahan
Pemerintah menyatakan bahwa perubahan undang‑undang terkait militer bertujuan untuk memperkuat efektivitas pemerintah dalam menghadapi tantangan global dan domestik—termasuk ancaman siber, terorisme, dan espionase. Pemerintah juga berargumen bahwa peran militer dalam beberapa fungsi sipil bisa mempercepat birokrasi dan pengambilan keputusan strategis.
Poin Utama dalam Undang‑Undang
Perubahan undang‑undang yang disahkan mencakup beberapa poin pokok: aktifitas TNI (Tentara Nasional Indonesia) diperluas agar personelnya dapat menduduki jabatan sipil di lembaga‑lembaga seperti Kejaksaan Agung, Sekretariat Negara, Badan Narkotika Nasional, dan lembaga lainnya. Selain itu, usia pensiun prajurit diperpanjang, memberikan ruang karir yang lebih panjang bagi personel militer aktif. Kebijakan ini menunjukkan bahwa militer tidak lagi dibatasi pada fungsi pertahanan semata, melainkan juga merambah fungsi pemerintahan sipil.
Kritik dan Kekhawatiran yang Muncul
Kelompok masyarakat sipil dan sejumlah pengamat berpendapat bahwa kebijakan ini mengandung risiko regresi demokrasi. Kritik utama mencakup: potensi melemahnya pemisahan kekuasaan, pengurangan kontrol sipil terhadap lembaga militer, serta kembalinya praktik dwifungsi militer—yang pada era Orde Baru menunjukkan kekuatan militer yang dominan dalam pemerintahan. Kekhawatiran ini diperkuat oleh kecepatan pengesahan undang‑undang serta minimnya participasi publik dalam prosesnya.
Dinamika Politik dan Reaksi Publik
Respons Partai Politik dan Koalisi Pemerintah
Partai‑partai yang mendukung pemerintahan menyetujui perubahan ini dengan menyebutnya sebagai langkah adaptasi terhadap kondisi geopolitik yang berubah cepat dan kompleks. Koalisi pemerintahan yang memiliki mayoritas kuat dalam parlemen menjadi kunci pengesahan undang‑undang ini. Di sisi lain, partai oposisi menyatakan keberatan keras, menuding proses legislatif tidak terbuka dan publikasi draf undang‑undang berlangsung secara terbatas.
Protes dan Suara Masyarakat Sipil
Publik merespon perubahan dengan gelombang protes—khususnya dari organisasi mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia. Isu seperti “kembalinya kekuatan militer dalam pemerintahan” serta lemahnya mekanisme kontrol sipil menjadi teriakan utama dalam demonstrasi. Gerakan digital dan tagar di media sosial juga menyebar luas sebagai bentuk ekspresi masyarakat muda yang khawatir akan arah demokrasi.
Implikasi Terhadap Tata Pemerintahan
Perubahan ini memunculkan pertanyaan besar bagaimana pemerintah akan menjalankan fungsi sipil dan militer secara simultan. Jika militer aktif di lembaga sipil, maka tata pemerintahan sipil yang selama ini dibangun bisa mengalami perubahan struktural—baik dalam hal budaya birokrasi, mekanisme kontrol, maupun peran legislatif dan yudikatif dalam pengawasan.
Implikasi Jangka Panjang bagi Demokrasi dan Kebijakan Publik
Pengaruh Terhadap Pemisahan Kekuasaan
Salah satu fondasi demokrasi modern adalah pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan militer yang memasuki ruang sipil pemerintahan, batasan antara fungsi pertahanan dan administrasi sipil menjadi kabur. Hal ini bisa memengaruhi independensi lembaga pengawas, efektivitas legislatif sebagai kontrol pemerintahan, dan lembaga yudisial dalam menjaga keadilan.
Dampak Terhadap Kebijakan Publik dan Transparansi
Ketika militer menjadi bagian dari struktur sipil, budaya pengambilan keputusan bisa bergeser menuju gaya “komando‐keputusan cepat” daripada proses deliberasi dan partisipasi publik yang terbuka. Hal ini bisa memperkecil ruang konsultasi publik dalam pembentukan kebijakan, mempercepat keputusan namun dengan risiko transparansi dan akuntabilitas yang berkurang.
Tantangan bagi Kontrol Sipil dan Akuntabilitas
Kehadiran militer dalam lembaga sipil menuntut sistem pengawasan baru yang efektif agar kontrol sipil tidak melemah. Lembaga pengawas, media bebas, dan masyarakat sipil harus memiliki ruang untuk memantau dan menilai kebijakan yang dihasilkan melalui mekanisme ini. Tanpa itu, risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi bisa meningkat.
Pelajaran dan Rekomendasi
Mendukung Partisipasi Publik yang Lebih Besar
Pemerintah perlu membuka proses pembentukan undang‑undang dan kebijakan publik kepada masyarakat secara lebih luas—melalui konsultasi publik, transparansi dokumen, dan forum terbuka. Partisipasi rakyat bukan hanya formalitas tapi bagian esensial untuk legitimasi kebijakan.
Menegakkan Batas Fungsi Sipil dan Militer
Meski ada argumen bahwa keterlibatan militer dalam fungsi sipil bisa membantu efisiensi, sangat penting untuk menetapkan batas yang jelas antara peran sipil dan militer agar kontrol demokratis tidak tergerus. Regulasi yang mengatur mekanisme akuntabilitas personel militer ketika menjalankan tugas sipil harus diberlakukan secara ketat.
Memperkuat Mekanisme Kontrol dan Transparansi
Parlemen, komisi pengawas, lembaga independen, dan media harus diperkuat agar mampu menjalankan fungsi kontrol dengan efektif. Data kebijakan, audit lembaga, dan pelaporan publik harus tersedia secara rutin dan mudah diakses. Ini akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Menjaga Kultur Birokrasi yang Demokratis
Pengambilan keputusan dalam pemerintahan harus tetap berbasis riset, kajian, dan partisipasi—bukan hanya atas dasar kekuasaan yang kuat atau komando top‐down. Kurikulum birokrasi harus menanamkan nilai transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang inklusif.
Tantangan yang Masih Harus Dihadapi
Politik Koalisi yang Kuat dan Oposisi Lemah
Mayoritas besar dalam parlemen memungkinkan pemerintahan menjalankan agenda dengan cepat, namun juga mengurangi fungsi oposisi sebagai kontrol efektif. Sistem politik perlu mendorong pluralitas dan peran oposisi yang relevan agar demokrasi tetap sehat.
Risiko Ketidaksetaraan dalam Akses Pemerintahan
Jika militer menjadi bagian fungsi sipil, ada potensi bahwa kelompok yang selama ini kurang terwakili dalam pemerintahan—seperti masyarakat adat, minoritas, atau kelompok perempuan—akan semakin kecil suaranya. Demokrasi harus memastikan inklusi, bukan hanya efisiensi.
Kecepatan Kebijakan vs Kebutuhan Kajian Mendalam
Pengambilan keputusan cepat mungkin dianggap positif, tetapi bila dilakukan tanpa kajian yang cukup, partisipasi publik, atau dampak jangka panjang yang dipertimbangkan, maka bisa menimbulkan kebijakan yang kontroversial atau tidak efektif. Case penelitian menunjukkan bahwa kebijakan yang “cek ombak” sering menuai resistensi publik.
Kesimpulan
Pengesahan undang‑undang yang memperluas peran militer dalam pemerintahan pada tahun 2025 merupakan titik krusial dalam perkembangan politik Indonesia. Kebijakan ini membuka babak baru bagi hubungan sipil‐militer dan tata pemerintahan nasional. Meskipun ada argumen untuk efisiensi dan respons cepat terhadap tantangan global, aspek transparansi, kontrol sipil, dan partisipasi publik tidak boleh diabaikan.
Ke depan, demokrasi Indonesia akan diuji bukan hanya oleh kebijakan yang dihasilkan, tetapi oleh bagaimana prosesnya dilakukan, siapa yang dilibatkan, dan bagaimana masyarakat dapat mengetahui serta berperan dalam pengambilan keputusan. Jangan sampai kecepatan pengambilan keputusan mengorbankan kualitas demokrasi dan akuntabilitas publik.
Dengan memperkuat institusi demokrasi, memperluas ruang partisipasi, dan menjaga transparansi, Indonesia memiliki kesempatan untuk membangun pemerintahan yang adaptif, inklusif, dan tetap menjaga nilai‑nilai dasar demokrasi di era yang serba kompleks ini.